Minggu, 10 Mei 2009

Indonesia yang Tahan Banting


”Kita lagi pusing. Omzet dalam beberapa bulan terakhir ini drop sampai 50 persen,” keluh seorang manajer restoran steak asal Amerika. Karena omzet jatuh, beberapa karyawan terpaksa dirumahkan dalam waktu yang tidak ditentukan.

Tapi yang membuat dia lebih ‘dongkol’ adalah omzet restoran yang sama, di Jakarta, sama sekali tidak turun. Manajer yang di Jakarta pun tenang-tenang saja. ”Tidak ada masalah di sini, semua berjalan seperti biasa, ” kata manajer di Jakarta.

Krisis global memang membuat banyak negara menderita, dan otomatis banyak pula membuat rakyat menderita. Pendapatan perusahaan terpangkas, sehingga setiap orang mesti berhemat. Apalagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), mau tak mau harus mengurangi belanja yang tidak mendesak.

Rakyat Malaysia merasakan betapa krisis global telah membuat mereka kelimpungan. ”Krisis ini memang berat bagi kami. Ekonomi Malaysia yang sangat tergantung ekspor harus berjuang lebih keras untuk mengatasinya,” kata PM Malaysia, Najib Razak, dalam wawancara dengan wartawan beberapa waktu lalu.

Singapura pun demikian. Perekonomian mereka yang sebagian besar ditopang dari ekspor, rontok ketika permintaan dari luar negeri merosot. Kunjungan wisatawan yang jadi andalan pun melorot tajam. Karena itu pemerintah berani melakukan subsidi kepada hotel di negara pulau itu dengan menjual murah kamarnya demi menarik wisatawan.

Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di antara negara-negara di ASEAN, Malaysia dan Singapura memang yang paling parah terkena krisis global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Malaysia tahun ini akan minus 3,5 persen.

Singapura jauh lebih parah mencapai minus 10 persen. ASEAN sendiri berada pada kisaran 0,0 persen.Bagaimana dengan Indonesia? Seperti yang dialami manajer restoran itu, krisis tidak begitu tampak terlihat. Restoran masih tetap penuh, mal-mal masih tetap ramai, tempat wisata masih berjejal di kala week end , jalanan tetap macet, warung-warung di pinggir jalan juga tetap hidup. Bahkan mobil yang berharga di atas Rp 4 miliar antre pembeli.

Bahwa ada puluhan ribu yang terkena PHK, itu betul. Ada perusahaan yang sementara merumahkan karyawan itu tidak salah. Beberapa perusahaan omzetnya turun juga betul. Tapi nilainya masih relatif rendah. Kejadian seperti itu kebanyakan juga ‘hanya’ terjadi di perusahaan yang orientasinya ekspor. Jadi ketika permintaan luar turun, omzet juga turun.

IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini 2,5 persen, jauh lebih rendah dari perkiraan paling pesimistis yang dirilis pemerintah, yakni sekitar 4,0 persen. Dengan pertumbuhan ala IMF itu pun Indonesia masih yang terbaik di kawasan negara-negara utama ASEAN. Filipina saja 0,0 persen, Thailand apalagi dengan krisis politik seperti sekarang akan makin sulit tumbuh.

Di Asia, bahkan mungkin dunia, negara yang memiliki kapitalisasi ekonomi besar, hanya Indonesia, Cina, dan India saja yang mampu tumbuh. Ini pun lebih disebabkan pada konsumsi penduduk yang tinggi.Maklum, ketiganya memiliki jumlah penduduk yang besar. Cina sekitar 1,2 miliar orang, India mendekati 1 miliar, dan Indonesia 225 juta. Ibaratnya, hanya memenuhi kebutuhan penduduk saja sudah mampu membuat pertumbuhan ekonomi positif.

Dalam kuartal pertama 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia lumayan tinggi untuk ukuran krisis, yakni 4,3 sampai 4,8 persen. Pertumbuhan itu didorong konsumsi masyarakat yang 4,3 sampai 5,0 persen, dan konsumsi pemerintah 8-13,1 persen. Ditambah pula investasi 5 sampai 6,5 persen.

Untuk ekspor masih juga jeblok dengan pertumbuhan minus 6 persen sampai minus 9 persen. Begitu pula impor yang turun minus 8 persen sampai minus 12 persen. Pertumbuhan yang sama-sama negatif itu sedikitnya juga menyelamatkan neraca transaksi berjalan ( current account ) yang tadinya diperkirakan akan defisit 259 juta dolar AS menjadi surplus 607 juta dolar AS.

Data yang disajikan Departemen Keuangan yang dihimpun dari berbagai sumber, mulai Maret sampai April ini menunjukkan produksi mulai menggeliat. Penjualan sepeda motor, misalnya, setelah permintaan sempat anjlok akhir tahun lalu sampai Februari kini grafiknya mulai naik. Hal serupa terjadi pada perminataan mobil di mana pada merek tertentu mulai inden.

Dari sisi konsumsi listrik juga terjadi permintaan yang kembali naik pada dua bulan terakhir. ”Kenaikan konsumsi itu mengindikasikan pabrik-pabrik sudah mulai menaikkan kapasitas produksi, mungkin juga hotel yang terus penuh untuk konsolidasi partai ketika pemilu,” kata Menkeu, Sri Mulyani.

Situasi ekonomi makro kurang lebih juga sama. Cadangan devisa pada Maret berada pada posisi 54,84 miliar dolar AS atau setara dengan 5,9 bulan impor. Cadangan devisa ini sempat dikhawatirkan akan turun drastis mengingat banyak utang luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, yang jatuh tempo dalam bulan-bulan ini.

Cadangan devisa ini naik dari bulan sebelumnya karena pemerintah menerbitkan sukuk senilai 2 miliar dolar AS. Kemudian juga penerimaan pajak minyak dan gas, serta realisasi pembayaran utang asing yang lebih rendah dari perkiraan. Dalam satu tahun terakhir ini cadangan devisa tertinggi di posisi 59,45 miliar dolar AS pada Juni 2008 dan terendah 51,4 miliar dolar AS pada Desember 2008.

Kurs rupiah sendiri sempat menguat cukup tajam ketika pemilihan umum (pemilu) berlangsung aman, yakni sempat di posisi Rp 10.600 setelah sebelumnya berada di kisaran Rp 12.000 per dolar AS. Kini dengan hiruk-pikuk koalisi yang belum jelas ke mana arah bandul politik nasional, rupiah pun kembali melemah, meskipun tidak drastis, yakni pada kisaran Rp 10.800 sampai Rp 11.000 per dolar AS.

Begitu pula kondisi bursa yang dalam tiga pekan terkhir ini menunjukan geliat yang cukup menghibur bagi pemain bursa. Transaksi yang pada awal tahun hanya ratusan miliar per hari, dalam dua pekan terakhir ini mencapai Rp 3,5 triliun sampai Rp 4,5 triliun. Investor asing juga mulai banyak masuk karena melihat bursa Indonesia menjanjikan.

Jika melihat dari perkembangan ekonomi selama kuartal pertama ini, kondisi ekonomi Indonesia tidak jelek-jelek amat. Tapi persoalannya adalah Indonesia memiliki tingkat pengangguran yang tinggi, sehingga dengan pertumbuhan empat persenan jelas tak mampu menyerap tenaga kerja.

Dalam sebuah kesempatan, Sri Mulyani mengatakan, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi di masa normal, bisa merekrut 700 ribu orang. Tapi di masa krisis hanya sekitar 300 ribu orang. Jika itu yang terjadi, pertumbuhan empat persen hanya bisa menampung 1,2-1,4 juta orang. Padahal angkatan kerja baru saja bisa 2,5 juta orang per tahun.

Itu menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pemerintah. Karena bagaimana pun pertumbuhan ekonomi tinggi tidak banyak berarti kalau tenaga kerja yang terserap hanya minimal. Jika itu yang terjadi, justru kesenjangan pendapatan yang terjadi, yang kaya makin kaya, yang miskin dipersilakan miskin terus.

Tapi apa pun, di tengah teriakan negara lain yang tumbuh negatif, Indonesia masih bisa tumbuh positif. Setelah dihajar habis dengan krisis 1998 lalu, barangkali perekonomian kita sudah tahan banting. Jadi dengan krisis global yang terjadi sekarang, Indonesia bisa lolos, meski dengan menyisakan banyak PR.

Anif Punto Utomo
Wartawan Republika

Kamis, 12 Februari 2009

Kamis, 11 Desember 2008

Misi dalam sebuah kerja

Seorang wanita tua, bertubuh gemuk, dengan senyum jenaka di sela-sela pipinya yang bulat, duduk menggelar nasi bungkus dagangannya. Segera saja beberapa pekerja bangunan dan kuli angkut yang sudah menunggu sejak tadi mengerubungi dan membuatnya sibuk meladeni. Bagi mereka menu dan rasa bukan soal, yang terpenting adalah harganya yang luar biasa murah.

Hampir-hampir mustahil ada orang yang bisa berdagang dengan harga sedemikian rendah. Lalu apa untungnya? Wanita itu terkekeh menjawab, “Bisa numpang makan dan beli sedikit sabun”. Tapi bukankah ia bisa menaikkan harga sedikit? Sekali lagi ia terkekeh, “Lalu bagaimana kuli-kuli itu bisa beli? Siapa yang mau menyediakan sarapan buat mereka?” katanya sambil menunjukkan para lelaki yang kini berlompatan ke atas truk pengantar mereka ke tempat kerja.

Ah! Betapa cantiknya, bila sebongkah misi hidup dipadukan dalam sebuah kerja. Orang-orang yang memahami benar kehadiran karyanya, sebagaimana wanita tua di atas, yang bekerja demi setitik kesejahteraan manusia, adalah tiang penyangga yang menahan langit agar tak runtuh. Merekalah beludru halus yang membuat jalan hidup yang tampak keras berbatu ini menjadi lembut bahkan mengobati luka. Bukankah demikian tugas kita dalam kerja: menghadirkan secercah kesejahteraan bagi sesama.